Ditengah derasnya arus persaingan bisnis, para pengusaha diharuskan untuk meraih keunggulan kompetitif untuk dapat bertahan dalam dunia usaha. Berbagai macam cara dilakukan untuk mencapai efektivitas dan efisiensi perusahaan, salah satunya dengan mengurangi jumlah sumber daya manusia yang ada. Dalam perampingan sumber daya manusia yang ada, perusahaan umumnya memlilih untuk merekrut para pekerja melalui OUTSOURCING dan KERJA KONTRAK, disamping melakukan enrichment job pada pegawai tetap yang ada. Hal ini dinilai lebih efisien, terutama dalam konteks biaya Sumber Daya Manusia perusahaan.
Outsourcing (Alih Daya) diartikan sebagai pemindahan atau pendelegasian beberapa proses bisnis kepada suatu badan penyedia jasa, dimana badan penyedia jasa tersebut melakukan proses administrasi dan manajemen berdasarkan definisi serta kriteria yang telah disepakati oleh para pihak. Dalam hukum ketenagakerjaan di Indonesia (Pasal 64 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan) , outsourcing diartikan sebagai pemborongan pekerjaan dan penyediaan jasa tenaga kerja.
Outsourcing tidak dapat dipandang secara jangka pendek saja, dengan menggunakan outsourcing perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan kepada pihak lain yang lebih profesional.
Sama halnya dengan pekerja outsourcing, pekerja kontrak juga diliputi rasa ketidaknyamanan dalam perusahaan karena mereka memiliki batas kontrak dalam kurun waktu tertentu. Dalam Pasal 59 UU no 13 th 2003, mengemukakan bahwa adanya sistem kerja kontrak, merupakan perjanjian kerja untuk waktu tertentu tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Selain itu, perjanjian kerja ini, dibatasi maksimal dua tahun dan boleh diperpanjang untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Artinya, paska tiga tahun mengabdi pada perusahaan, para pekerja tidak tetap (kontrak) tidak dapat bekerja lagi di perusahaan itu jika tidak diangkat menjadi pekerja tetap.
Wacana mengenai outsourcing dan kerja kontrak di Indonesia, bukan merupakan hal yang baru dalam perusahaan, khususnya dalam hal Hubungan Industrial. Hampir setiap tanggal 1 Mei (Mayday), yaitu saat hari Buruh, hampir semua organisasi masyarakat maupun serikat pekerja menolak hal tersebut karena dinilai tidak manusiawi dan hanya menyengsarakan para pekerja. Selain itu, sistem kerja tersebut dinilai merugikan para pekerja karena tidak memberikan jaminan dalam bentuk apapun selama mereka bekerja.
Berbicara mengenai Hubungan Industrial, tidak terlepas adanya tripartit, yaitu: pekerja, pengusaha dan pemerintah. Dalam hal outsourcing dan kerja kontrak ini, nampaknya belum ada garis tengah antara pengusaha dan pekerja yang ditengahi oleh pemerintah. Pemerintah hendaknya memberikan definisi yang jelas untuk sistem alih daya (outsourcing) yang ada pada Undang-undang No.13/2003 tentang Ketenagakerjaan, untuk mengatur penerapan sistem penggunaan tenaga kerja itu oleh perusahaan, karena dalam pasal 59 dan 64 belum diterangkan secara jelas, bagaimana mekanisme sistem kerja kontrak dan outsourcing, sehingga banyak terjadi kesalah pahaman konsep antara keduanya.
Bedasarkan pemaparan di atas, timbul suatu pertanyaan bagaimana konsep sistem kerja kontrak dan outsourcing yang layak diterapkan di Indonesia, baik dari segi pengusaha, pekerja, maupun pemerintah sebagai regulator? Jika dikomparasikan, manakah sistem kerja yang lebih baik, outsourcing atau kerja kontrak?


0 komentar:
Posting Komentar